*Negosiasi dan Anjloknya Saham*
Ermansyah R. Hindi
JbsMediaNet-Berisik banget di platform medsos saya, akhir-akhir ini. Pemegang otoritas di negeri kita pun lagi putar langkah kalau bukan puyeng. Bukan apa-apa riuhnya. Pilihan langkah jitu pemerintah berupa negosiasi tampak rapuh. Kalau negosiasi diogahin oleh Tuan Trump, bagaimana?
Jadinya, negosiasi itu bukan cuma soal duduk di meja bundar sambil pakai jas dan dasi. Kadang, negosiasi juga kayak adu jotos yang halus—penuh siasat, jebakan, dan kode-kode diplomatik.
Dan waktu Donald Trump bikin kebijakan tarif impor 32 persen buat produk Indonesia, panggung dagang internasional langsung gonjang-ganjing. Apalagi buat negara kayak kita, yang ekspornya masih mengandalkan sektor manufaktur, tekstil, sama produk berbasis sumber daya. Tarif segede itu bukan cuma bikin harga barang naik di pasar AS, tapi juga bisa jadi sinyal keras: “Gue yang punya kuasa.”
Kita tahu, tarif Donald Trump bukan pemain baru dalam drama ekonomi global. Sejak jadi presiden, dia menerapkan gaya main yang keras—tarif buat China, tarif buat Eropa, dan sekarang nyasar juga ke Indonesia. Alasan resminya sih buat melindungi industri domestik AS, tapi jangan lupa, ini juga soal posisi tawar.
Tarif bisa jadi alat nego. Anda tekan negara lain pake tarif, trus nanti Anda tawarin diskon tarif sebagai barter buat hal lain: akses pasar, perubahan kebijakan, atau bahkan loyalitas politik.
Lalu, buat Indonesia, tarif 32 persen itu kayak tamparan di pagi hari. Kaget, sakit, dan mau apa, itu harus buru-buru bangun juga. Pemerintah langsung menyusun strategi—dari mulai minta pengecualian tarif, sampai menyusun ulang daftar prioritas ekspor. Tapi, negosiasi sama AS itu kayak main catur sambil lari. Anda nggak bisa santai, karena setiap langkah Anda bakal langsung direspon. Dan kalau salah strategi, bisa-bisa malah makin ditekan.
Sayangnya, di tengah drama tarif itu, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) malah anjlok. Pasar modal itu sensitif, _bro_. Begitu ada kabar buruk dari luar negeri—apalagi dari negara sekelas AS—langsung deh para investor panik. Mereka tarik dana, pindahkan ke aset yang lebih aman. Dan kita lihat sendiri efeknya: IHSG merah, saham-saham _blue chip_ ikut tumbang. Rasanya kayak domino—satu jatuh, yang lain ikut tumbang.
Mari kita mundur sedikit. Anjloknya IHSG itu bukan cuma soal angka-angka. Ini juga cermin dari ketakutan kolektif, dari spekulasi pasar yang digerakkan oleh sentimen, bukan realitas melulu.
Kapitalisme pasar selalu punya sisi psikologis. Grafik itu kayak simbol mental kita: kalau pasar naik, orang optimis; kalau turun, panik massal. Dan itu semua digerakkan bukan semata-mata logika, tapi juga narasi—tentang ancaman, ketidakpastian, dan kepercayaan.
Kalau kita lihat lebih dalam, negosiasi dagang ini juga soal produksi tanda. Trump pakai tarif sebagai tanda dominasi, Indonesia kasih respons diplomatik sebagai tanda penolakan.
Masalahnya, siapa yang punya kuasa menafsirkan tanda-tanda ini? Siapa yang bisa bilang tarif itu bentuk agresi atau cuma strategi? Ini kayak main semiotika geopolitik—yang kuat bukan cuma yang punya senjata atau ekonomi, tapi yang bisa ngatur narasi global.
Kita mungkin masih ingat. Sekarang, negara tidak cuma urus ekspor-impor. Mereka juga harus jago bikin citra. Indonesia berusaha tampil sebagai negara berkembang yang moderat, kooperatif, dan terbuka. Cuma kalau terus ditekan, bisa saja strategi berubah jadi perlawanan halus. Kayak bikin aliansi baru, diversifikasi pasar ekspor, atau gencar promosi produk, misalnya, dalam negeri. Semua itu bagian dari diplomasi branding: Anda jual bukan cuma barang, ada juga citra dan nilai.
Di balik itu, yang sering luput dari perhatian adalah dampak buat rakyat kecil. Tarif tinggi bikin produk Indonesia susah bersaing, pabrik bisa sepi order, PHK mengintip. Di sisi lain, pasar saham yang anjlok bikin para investor ritel kelimpungan. Uang hasil nabung bisa tiba-tiba hilang separuh. Ini bukan cuma drama elite global—ini juga realitas kelas menengah dan bawah yang makin rapuh. Sistem global tuh kayak ombak, dan kita kadang cuma perahu kecil di tengah badai.
Begini saja. Daripada terus jadi korban, mungkin ini saatnya buat redefinisi arah. Bagaimana kalau kita anggap tarif dan kejatuhan saham ini sebagai momen semacam _wake-up call_? Mungkin kita bisa mulai serius bangun industri hilir sendiri, naik kelas dari sekadar eksportir bahan mentah jadi produsen barang jadi. Mungkin kita bisa ciptain bursa yang lebih stabil, tidak terlalu sensitif sama berita dari luar. Dan mungkin juga, kita bisa jadi pemain yang tidak cuma ikut arus, tapi juga bikin gelombang.
Kita juga yakin, kalau tarif, saham, dan negosiasi bukan akhir cerita. Mereka adalah fragmen dari drama global yang terus bergerak. Dan kita—sebagai negara, sebagai rakyat, sebagai individu—punya peran penting di luar “pulau kapuk.” Kalau perlu, kita kadang harus pura-pura kuat, kadang harus cerdas ngeles. Jadi, yang jelas, kita harus terus ngulik, belajar, dan mencari cara biar tidak cuma bertahan, tapi juga bisa mengatur permainan. Ayo, kita _come on_!
Tim Redaksi