Ermansyah R. Hindi
“Jangan ngawur bikin kawasan industri di Kabupaten Jeneponto kalau belum ada dasar atau regulasinya, Man? Lagian, daerah ini belum ada semacam dokumen perencanaan pengembangan kawasan industri di daerah kita.” Begitu yang saya tangkap dari hasil diskusi bareng pimpinan Perangkat Daerah (PD) Kabupaten Jeneponto terkait.
Oh, iya, tempat pertemuan itu berlangsung di ruangan Kepala Bappeda Kabupaten Jeneponto. Saya sempat ngobrol ringan dengan pimpinan Bappeda soal kawasan industri.
Entah kenapa, di benak saya muncul serta merta ide kecil-kecilan tentang kawasan _agro based industries_: ya industri berbasis pertanian begitu.
Rupanya, “setengah sadar” saya mengalihkan perhatian karena memang tidak ada dokumen kawasan industri Kabupaten Jeneponto atau dokumen lainnya, yang benar-benar mendukung kawasan industri. Baik itu industri kecil dan menengah. Saya sebenarnya menunggu umpan balik dari PD terkait seputar kawasan industri.
Buktinya apa, Pak, Bu? Sampai sekarang belum ada regulasi tentang penetapan kawasan industri, dari pemerintah pusat. Ya, itu tadi, ditambah belum ada dokumen perencanaannya.
Tenang. Eh, sebenarnya saya jadi kepo sendiri. Saya celengukan, maka jari jemari bergeser ke ponsel. Ketemu deh barangnya. Wah, nongol Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 4 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Jeneponto Tahun 2022-2042. Dan saya pun mengunduh situs dokumen perencanaan industri itu di Mbah Google.
Tengok sekitar dua dekade lalu, ternyata juga Perda tentang Penetapan Kawasab Industri Perikanan dan Pariwisata Terpadu (KIPPT) Regional Timur Kabupaten Jeneponto Tahun 2006. Sisa apalagi? Imajinasi liar terbang nancap di kepala saya karena dokumen perencanaan kawasan industri itu tampak mandek hingga sekarang.
Saya kira, memang betul, ada kawasan industri: PLTU Mallasoro, Kecamatan Bangkala. Belakangan, kehadiran PLTU itu tampaknya belum menjadi syarat penetapan kawasan industri di Kabupaten Jeneponto. Terus, PLTB Tolo menyusul kemudian.
Tapi, dalam tulisan ini, saya tidak senggol soal regulasi atau dokumen kawasan industri. Berhubung karena peserta rapat tidak ngomel, hehe, lengkap dengan raibnya naga-naga industri lokal, akhirnya, mentok sampai di situ saja.
Baiklah. Kalau Anda buka peta Sulawesi Selatan, mata Anda bakal langsung nemuin satu kabupaten yang sering “keskip” dalam narasi besar pembangunan: Jeneponto. Letaknya strategis banget di jalur Trans Sulawesi, dekat Makassar. Sayangnya, nama Jeneponto jarang nongol di headline soal investasi atau kawasan industri. Yang sering justru Bantaeng, tetangganya, yang udah punya Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) dan mulai dilirik investor.
Padahal, satu sisi, Jeneponto bukan daerah sembarangan. Wilayah ini punya potensi lahan yang luas, sumber daya alam yang khas, dan bonus demografi yang belum dieksplor.
Nyatanya, di sisi lain, data BPS 2024 menunjukkan kalau Kabupaten Jeneponto masih termasuk dalam 10 besar kabupaten termiskin di Sulawesi Selatan sekaligus paling cepat tingkat penurunan. Angka kemiskinan Kabupaten Jeneponto mencapai 11,82 persen, turun dari 13,06 persen (2023). Tak dinanya, Provinsi Sulawesi Selatan sudah turun jadi sekitar 8,89 persen.
Artinya, masih ada kesenjangan yang serius. Pertanyaannya, kenapa? Dan lebih penting lagi, kenapa belum ada lompatan industrialisasi yang signifikan?
***
Apa itu industrialisasi? Kenapa penting?
Karena industri bukan cuma soal bikin pabrik. Ini soal mengubah cara hidup, membuka lapangan kerja, ngurangin angka kemiskinan, dan yang paling penting—membawa masa depan ke tengah masyarakat Kabupaten Jeneponto.
Kalau dengar kata industrialisasi, banyak orang langsung membayangkan pabrik besar, cerobong asap, dan mesin-mesin berat. Konsepnya lebih luas dari itu. Industrialisasi itu proses mengubah struktur ekonomi dari yang tadinya bertumpu pada sektor primer (kayak pertanian dan perikanan). Jadi, sektor sekunder dan tersier (kayak manufaktur, energi, logistik, sampai jasa digital).
Tujuan utamanya? Ya simpel, meningkatkan produktivitas, menyediakan lapangan kerja, dan mendongkrak pendapatan masyarakat.
Sekadar belajar dari kisah sukses itu tidak apa-apa. Di negara berkembang, industrialisasi itu kayak “jalan tol” menuju kesejahteraan. Tidak percaya? Nih contoh:
Vietnam dulu negara agraris banget, sekarang jadi raksasa elektronik dunia karena berhasil gaet investasi industri (Samsung, Intel, dan lain-lain).
Bangladesh dulu dikenal miskin dan overpopulasi, sekarang tumbuh cepat berkat industri tekstil dan garmen. Cikarang dan Karawang di Indonesia sendiri sudah terbukti bagaimana kawasan industri bisa membawa peradaban baru ke pinggiran. Atau Kawasan Industri Makassar (KIMA), yang membawa kota terbesar dan pusat perdagangan di Indonesia bagian timur.
Sekarang, kenapa industrialisasi penting buat daerah? Kalau dicatat-catat buat daerah kayak Jeneponto, industrialisasi itu penting banget karena:
Pertama, mengurangi kemiskinan struktural. Kalau sektor ekonomi cuma bertumpu pada pertanian subsisten, pendapatan rakyat tidak akan naik-naik.
Industri bisa bikin “loncatan kelas sosial.” Maklum, nilai tukar sektor pertanian lebih rendah daripada sektor lainnya, termasuk sektor industri. Menurut data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Jeneponto Tahun 2024, bahwa jumlah industri kecil dan menengah sebanyak 591 unit.
Kedua, bikin _multiplier effect_. Satu pabrik bisa nyedot tenaga kerja, bikin toko makan, kontrakan, bengkel, jasa angkut, sampai sekolah informal.
Ketiga, tahan banting terhadap krisis. Industri bikin ekonomi lebih tahan guncangan. Ketika harga jagung anjlok, pabrik pengolahan bisa jadi bantalan ekonomi.
Keempat, tidak bikin semua orang ke kota. Dengan industri lokal, orang tidak perlu hijrah ke Makassar, Jakarta, atau kota-kota lainnya buat kerja.
Apa yang bisa dipetik buat Jeneponto? Setiap kasus di atas nunjukin satu hal: industrialisasi itu butuh kombinasi potensi lokal, dukungan infrastruktur, dan kepemimpinan visioner.
Buat Jeneponto, pelajaran yang bisa diambil. Membangun _anchor industry_. Misalnya? pabrik pakan jagung skala besar atau industri olahan rumput laut. Singkat kata, fokus pada keunggulan lokal, yaitu jagung, angin, ternak, laut.
Selain itu, membangun infrastruktur dasar: listrik, air, jalan, dan internet. Siapkan SDM lokal lewat pelatihan vokasi dan kerja sama SMK–industri.
Lalu, apa yang bisa diindustrialisasi di Jeneponto? Kalau Anda pikir-pikir, Jeneponto tidak punya bahan buat industri, salah besar, kata siapa? Nih, beberapa potensi yang bisa langsung di- _scale up_:
(i) Komoditas jagung: Bisa diolah jadi pakan ternak, tepung jagung, bahkan bahan bioetanol; (ii) Ternak sapi: Dari rumah potong modern, industri pengalengan daging, susu, kulit sampai pupuk organik; (iii) Rumput laut: Jangan dijual mentah terus! Bisa jadi agar-agar, kosmetik, sampai bahan baku farmasi;.(iv) Energi angin: PLTB Tolo sudah bukti potensi, tinggal dikembangkan ke industri turbin mini atau suku cadang.
Kemudian, berapa kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)? Tercatat, kontribusi sektor industri pengelohan terhadap PDRB Kabupaten Jeneponto Atas Dasar Harga Berlaku sebesar Rp 441 milyar (3,63) tahun 2023 persen menjadi Rp 471 milyar (3,60) tahun 2024 (angka sementara) atau naik 0,03 persen.
Muncul pertanyaan susulan? Kenapa industrialisasi belum jalan di tempat? Berbicara soal industrialisasi tanpa infrastruktur tuh kayak bikin nasi goreng, tapi tidak pakai nasi. Itu tidak nyambung, bro!
Salah satu kendala utama di Jeneponto adalah jalan antar-kecamatan dan antar-desa masih banyak yang rusak. Industri butuh logistik lancar. Kalau akses ke lokasi produksi saja bikin mobil mogok duluan, siapa yang mau invest?
Lanjut, air bersih dan listrik belum stabil. Banyak desa di Jeneponto masih susah air bersih. Listrik juga kadang _byar-pet_. Bagaimana mau bangun pabrik kalau kompresor sering mati?
Di era digital, ini penting banget. Industri sekarang tersambung ke _digital supply chain_. Kalau sinyal internet saja susah, ya repot.
Diakui saja, mayoritas tenaga kerja di Kabupaten Jeneponto masih didominasi oleh lulusan SD–SMP, dengan sedikit yang punya keahlian teknis. SMK ada, tapi belum fokus banget ke dunia industri yang spesifik kayak teknik mesin, pertanian modern, logistik, atau energi alias lemahnya SDM terlatih dan pendidikan vokasi.
Kurikulum SMK belum sinkron dengan kebutuhan industri. Banyak anak muda pintar, tapi tidak dapat skill yang cocok buat kerja di industri.
Sedangkan, balai latihan kerja (BLK) bisa jadi pengganti sekolah formal buat yang tidak sempat lanjut sampai BLK di Jeneponto masih minim dan belum maksimal.
Sampai kemudian investor itu kaya gebetan: gampang wanti-wanti kalau didekati serius. Di Jeneponto: Perizinan masih ruwet dan makan waktu. Seharusnya sudah online dan cepat. Kalau mau tarik investor, sistem birokrasi harus gesit.
Yang lain, yaitu kurangnya promosi potensi daerah. Banyak investor bahkan tidak tahu Jeneponto itu punya potensi angin, jagung, dan laut sehebat itu. Pemerintah daerah harus lebih ngegas promosi kekayaan lokal.
Ada lagi, kurangnya insentif fiskal dan kemudahan lahan. Kabupaten Jeneponto belum maksimal punya kawasan industri atau lahan siap bangun _(landbank_) yang sudah dikurasi dan bersertifikat.
Hal paling kena dan sensitif, yang perlu dibicarakan. Sebagian masyarakat (dan elite lokal) yang masih berpikir bahwa kerja di kebun, ternak sapi, atau melaut itu sudah cukup. Itu tidak salah, tapi kalau tidak dibarengi inovasi dan pengolahan hasil, kita bakal terus ada di rantai paling bawah.
Tantangan yang tidak kalah serunya adalah masih ada sebagian orang terlalu banyak pertimbangan tentang perubahan dan teknologi baru.
Mesin pengering jagung, misalnya, dianggap bikin biaya mahal. Padahal itu bisa meningkatkan kualitas dan harga jual.
Anggapan mereka soal industri tidak lebih dari polusi dan “gaya hidup” orang luar. Daerah kita perlu edukasi bahwa industri bisa hijau dan justru menyerap tenaga kerja lokal.
***
Kabupaten Jeneponto itu ibarat motor 250cc yang parkir doang di garasi—tenaganya ada, tapi belum digeber. Potensinya bukan kaleng-kaleng: angin kenxang, laut luas, lahan padi dan jagung berhektar-hektar. Semua itu cuma jadi cerita kalau infrastruktur, SDM, dan birokrasi masih kayak jalan rusak: bikin kesel dan pelan banget.
Industrialisasi memang bukan soal berapa banyak pabrik. Ini soal mindset dan ekosistem. Kita butuh jalan yang mulus, listrik yang stabil, anak muda yang siap kerja, perizinan yang cepat, sampai promosi yang menyentuh dunia. Dan semua itu tidak bakal jalan kalau kita masih ragu-ragu, menunggu “waktu yang pas”, atau berpikir, “ah, sudah cukup hidup begini saja.”
Zaman sudah berubah, _bro_! Kalau daerah lain udah mulai main di industri 4.0, masa kita masih sibuk debat soal beli mesin pengering jagung? Kalau kita mau naik kelas, ya harus siap buka pikiran dan buka peluang.
Sekarang tinggal pilih: mau gaskeun bareng-bareng atau terus nonton daerah lain melesat sambil kita bengong sendiri?
Jeneponto bisa, asal mau bareng-bareng. Yuk, ubah potensi jadi prestasi. Industrialiasi, bisa kan? Bergantung dari kita, mari berubah ke arah industrialisasi!
Tim Redaksi